Dialah Utsman bin hasan bin ahmad asy- syakir al- khaubawi. Dari kitab Durratun Nasihin karya Syaikh Utsman Al. Kitab Durratun Nashihin Pdf Free yang.
Mayoritas umat Islam berpendapat bahwa bilangan shalat Tarawih adalah dua puluh raka’at. Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, Daud al-Dhahiry dan satu riwayat dari Malik berpendapat bilangan Tarawih adalah dua puluh raka’at. Riwayat lain dari Malik adalah tiga puluh enam raka’at.1 Ahmad dalam satu riwayat darinya, juga berpendapat jumlah raka’at Tarawih adalah tiga puluh enam raka’at karena mengikuti perbuatan penduduk Madinah. Namun Al-Ruyani mengabarkan kepada kita bahwa riwayat tersebut, yaitu Malik dan Ahmad berpendapat tiga puluh enam raka’at adalah suatu kesalahan, karena Ibnu Umar telah meriwayat bahwa manusia pada masa sahabat melakukan shalat Tarawih berjama’ah kepada Ubay bin Ka’ab dengan jumlah dua puluh raka’at dan itu merupakan ijmak diantara mereka. Penduduk Makkah juga melakukan hal serupa. Adapun kemudian penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah tiga puluh sembilan raka’at, menurut Syafi’i, adalah karena pada waktu itu penduduk Makkah melaksanakan Tarawih dengan jumlah dua puluh raka’at, dimana dalam setiap sekali istirahat (tarwih) mereka melaksanakan thawaf tujuh kali.
Guna menyamakan dengan ibadah penduduk Makkah, maka penduduk Madinah menambah empat raka’at dalam setiap kali istirahat shalat Tarawih, sehingga jumlah raka’at shalat mereka adalah 20 + (4 kali istirahat x 4 raka’at =16) = 36 raka’at dan menjadi jumlah totalnya = 39 raka’at dengan menambah tiga raka’at Witir. 2 Disamping dua pendapat di atas, juga ada riwayat dari al-Aswad bin Yazid bahwa beliau ini melakukan shalat Tarawih dengan empat puluh raka’at. 3 Sekelompok umat Islam, ada juga yang berpendapat bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah delapan raka’at atau sebelas raka’at dengan Witir. Imam as-Suyuthi, salah seorang tokoh mutaakhirin Mazhab Syafi’i mempunyai pendapat yang berbeda dengan Syafi’i sendiri dan kebanyakan para ulama. Beliau berpendapat bahwa bilangan raka’at shalat Tarawih adalah sebelas raka’at dengan witir. Beliau mengatakan dalam kitabnya, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih: “Alhasil bahwa dua puluh raka’at tidak itsbat (positif) dari perbuatan Nabi SAW. Apa yang dikutip dari Ibnu Hibban sesuai dengan pendapat kami dengan berpegang kepada hadits riwayat Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidak melebihi pada Ramadhan dan lainnya atas sebelas raka’at.
Keterangan ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hubban dari sisi Nabi SAW bahwa beliau melakukan Shalat Tarawih delapan raka’at kemudian witir dengan tiga raka’at, maka jumlahnya sebelas raka’at. 4 Pendapat lain mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih.
Shalat Tarawih adalah ibadah sunnat, karena itu boleh melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah raka’at yang diinginkannya. Maka kadang-kadang pada suatu ketika, seseorang menginginkan berdiri dalam shalat dengan waktu yang lama, maka ia shalat dengan delapan raka’at dan pada saat yang lain, menginginkan shalat yang singkat, maka ia shalat dengan dua puluh atau lebih. Diantara yang berpendapat dengan pendapat terakhir ini adalah al-Subky, salah seorang tokoh mazhab Syafi’i sebagaimana disebut dalam kitab beliau, Syarah al-Minhaj. Al-Jury, mendakwakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat Syafi’i. Pendapat dua ulama terakhir ini telah dikemukakan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Mashabih fii Shalah al-Tarawih. 5 Perlu menjadi catatan di sini, bahwa dakwaan al-Jury dimana Syafi’i berpendapat tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih merupakan sebuah dakwaan yang sangat aneh dan ganjil, karena dakwaan tersebut tidak didapati dalam kitab-kitab mu’tabar di kalangan tokoh-tokoh ulama mazhab Syafi’I, bahkan yang ditemukan hanya riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Syafi’i berpendapat shalat Tarawih berjumlah dua puluh raka’at.
Ini dapat diperhatikan dalam kitab antara lain: 1.Kitab al-Hawi al-Kabir karya al-Mawardi, disebutkan: “Syafi’i r.a. Mengatakan, aku melihat mereka melaksanakannya di Madinah dengan tiga puluh sembilan raka’at. Tetapi aku lebih menyukai dengan dua puluh raka’at, karena itu telah diriwayat dari ‘Umar bin Khatab r.a. Dan penduduk Makkah juga melaksanakan seperti itu dan melakukan witir tiga raka’at.”6 Pernyataan di atas juga telah dikutip oleh al-Ruyani dalam Bahr al-Mazhab 7 dan Abu Husain al-‘Imrany al-Syafi’i al-Yamany dalam kitab al-Bayan fii Mazhab al-Imam al-Syafi’i.8 2.Diantara ulama yang telah menisbahkan pendapat dua puluh rakaa’at shalat Tarawih tanpa menyebut qaul lain bagi Syafi’i adalah antara lain Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid,9 Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkar 10 dan lain-lain. 3.Imam an-Nawawi, salah seorang ulama Syafi’iyah yang sangat telit dan akurat dalam memilah-milah mana yang menjadi qaul Syafi’i dan mana yang bukan, dalam kitab karangan beliau, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan: “Mazhab kita, raka’at Tarawih adalah dua puluh raka’at dengan sepuluh kali salam selain witir”.11 4.
Keterangan yang disampaikan oleh an-Nawawi di atas dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab karya ulama Syafi’iyah lainnya seperti Jalaluddin al-Mahalli, Ibnu Hajar al-Haitamy, ar-Ramli, Zakariya al-Anshary dan lain-lain. Perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam mengenai jumlah raka’at shalat Tarawih di atas lebih disebabkan karena tidak terdapat hadits yang marfu’ (hadits yang langsung dari Rasulullah SAW), baik yang bersifat qauli, fi’li maupun taqriri dari Rasulullah SAW. Kalau dikatakan seluruh shalat malam Rasulullah SAW tidak melebihi 11 rakaat, itu jelas tidak mungkin, sekarang mari kita hitung jml rakaat shalat rasulullah SAW pada waktu malam, yakni: 1. Shalat magrib: 3 raka'at 2. Sunnat sesudah magrib: 2 rakaat 3.
Sunnat sebelum isya: 2 rakaat 4. Shalat isya: 4 rakaat 5.
Sunnat sesudah isya: 2 raka'at 6. Tahajjud min.: 2 raka'at 7. Witir min.: 1 atau 3 raka'at jumlahnya: 16 atau 18 rakaat. Gimana mungkin dikatakan rasulullah SAW tidak shalat malam melebihi 11 raka'at kalau yang dimaksud shalat malam hanya yang sunat2 saja, berarti jml semuanya: 9 raka'at atau 11 raka'at.
Kalau ini yg dimaksudkan, berarti shalat Rasulullah SAW pada malam Ramadhan adalah 9/11 + 11 (kalau tarawih 11 raka'at)=20/22 raka'at shalat malam. Ini juga tidak mungkin, kecuali kita tuduh rasulullah SAW tidak shalat sunnat selain tarawih pada bulan ramadhan.
Nauzubillah min zalik, karena Rasulullah SAW adalah orang yang sangat sempurna dalam ibadahnya. Oleh karena itu, para ulama menempatkan hadits Aisyah tersebut berkenaan dengan shalat tahajjud atau shalat witir. Shalat tahajjud dan witir ini ada pada ramadhan dan juga ada pada bukan ramadhan. Lihat pembahasan di atas. Terima kasih. Kalau saudara membaca dgn lengkap tulisan di atas, khusus untuk jumlah raka'at tarawih 20 raka'at, sudah dijelaskan dalil2nya dgn disertai sanadnya dan hadits tersebut shahih adanya menurut pendapat ahli hadits.
Adapun mengenai jml raka'at 36 atau 39 kami kami tidak menemukan dalil yg marfu' dari Nabi atau hadits mmauquf, karena itu, kami berpendapat rakaat tarawih yg lebih benar adalah 20 raka'at sebagaimana pendapat kebanyakan ulama. Ohya,kami heran juga dari mana sumber sdr, hingga mengatakan imam syafi'i lebih suka 11 raka'at, coba buktikan! Untuk saudara ketahui dalam al-Um,karangan imam syafi'i sendiri, terbitan maktabah Syamilah, juz.
167 beliau mengatakan: aku lebih suka 20 raka'at. Jadi bukan 11 rakaat seperti saudara katakan tadi. Hadits Aisyah yg saudara sebutkan itu memang shahih, tetapi itu bukan membicarakan masalah tarawih, karena hadits itu membicarakan shalat yg dilakukan pada Ramadhan dan bukan Ramadhan, sedangkan shalat tarawih tidak ada diluar ramadhan. Coba baca kembali mengenai hadits tersebut secara lengkap pada tulisan di atas.sehingga sdr tidak salah dalam mengambil kesimpulan mudah2an kita semua mendapat hidayah dari Allah SWT.
Untuk Anonim: menjadikan hadits Aisyah tersebut sebagai dalil raka'at shalat tarawih justru yg aneh dan prasangka yang lebih keliru, karena shalat tarawih tidak ada pada bulan bukan ramadhan. Qiyam al-lail pada bulan ramadhan belum tentu merupakan shalat tarawih, karena nabi senantiasa melakukan shalat sunat malam seperti tahajjid, witir, rawatib dan lain2 pada bulan ramadhan. Saudara akan melihat bahwa pendapat 20 rakaat lebih dapat dipertanggungjawabkan dalilnya apabila saudara membaca tulisan di atas dengan seksama dan tanpa prasangka dan tentunya didukung dengan disiplin ilmu ushul fiqh dan lain2 wassalam. Anonim Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 rakaat adalah boleh, dan 23 rakaat lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 rakaat. Jangan melakukan pembenaran thd suatu keyakinan karena semua itu ada dasarnya masing2. Yang lebih penting lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah.
Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang bacaanya”. Banyak rakaat tapi gedubrak gedubruk gak karuan, itu yg gak bener.apa sholat begitu dapet tuh pahala sholatnya. Mending yg 11 rakaat tapi bisa tuma'ninah. Terlebih lagi bisa yg 23 rakaat juga yg tuma'ninah. Kalau seorang muslim mengamalkan suatu pendapat, tentu itu karena dia menganggap pendapatnya itu lebih benar, karena tdk mungkin seseorang mengamalkan suatu pendapat yang dianggap tidak benar, meskipun pendapat orang lain harus dihargai sebagai suatu hasil ijtihad. Saya setuju kalau dikatakan praktek shalat harus khusyu', tetapi khusyu' saja tidak sesuai dengan syara' lebih gak benar (artinya sesuai dgn syara' lebih penting). Menuduh shalat 23 rakaat tidak khusyu' sama dengan menuduh sahabat nabi, Imam mujtahid 4 dan ulama2 lainnya tidak khusyu' shalat tarawihnya, soalnya mereka2 ini shalat tarawihnya 23 raka'at.
Kalau saudara ada melihat sebagian masyarakat muslim ada shalat tarawih gedubrak gedubruk (menurut istilah saudara) bukan berarti semua umat islam tarawih seperti tuduhan saudara itu. Assalamua'alaikum ada seseorang yg mengatakan kepada saya bahwa hadits yg menjelaskan ttg 30 fadhilah shalat tarawih pada setiap malamnya adalah hadits maudhu'. Hadits ini disebutkan dalam kitab durratun nashihin. 1.benarkah pernyataan org tersebut? Kitab tsb dikarang oleh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi. Dan siapa Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi itu?? 1.kitab duratun nashihin merupakan kitab dakwah yang banyak mengandung informasi fadhail amal, targhib dan tarhib, sehingga tidak heran dalam kitab tersebut banyak merupakan hadits dha'if.
(jumhur ulama membolehkan menggunakan hadits dha'if dalam masalah fadhail amal, targhib dan tarhib) 2. Pengarang kitab ini adalah Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubawy, beliau seorang ulama abad XIII H. Seorang ulama bermazhab hanafi 3. Khusus mengenai hadits di atas, menurut beberapa sumber dari pakar hadits kontemporer, hadits ini dinilai maudhu'.
Kami belum menemukan pendapat ulama hadits tempo dulu mengenai kualitas hadits ini. Perlu dicatat di dalam duratun nashihin hadits ini hanya disebut hadits ini diriwayat dari saidina Ali tanpa menyebut pentakhrijnya. Mudah2an pembaca yang lebih mengerti tentang kualitas hadits ini dapat membantu memberi informasi yang lebih dari ini wassalam.
Manaqib Kyai Utsman Al-Ishaqi Surabaya Reviewed by Tim Menyansoft on Tuesday, February 28th, 2012. This Is Article AboutManaqib Kyai Utsman Al-Ishaqi Surabaya AL-LU’LU’U WAL-MARJAN Dengan pertolongan Alloh swt. Ada barokah Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi R.A.
Kami berusaha untuk menerbitkan Manaqib Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi untuk pertama kali dengan bahasa Indonesia, dengan harapan akan mudah difahami oleh kaum muslimin yang mencintai beliau khususnya para muridin dan muridat beliau untuk lebih memantapkan Robithoh kepada beliau sewaktu akan melakukan dzikir. AL-LU’LU’U WAL-MARJAN Dengan pertolongan Alloh swt. Ada barokah Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi R.A. Kami berusaha untuk menerbitkan Manaqib Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi untuk pertama kali dengan bahasa Indonesia, dengan harapan akan mudah difahami oleh kaum muslimin yang mencintai beliau khususnya para muridin dan muridat beliau untuk lebih memantapkan Robithoh kepada beliau sewaktu akan melakukan dzikir serta agar selalu mendapatkan barokah apa saja dari beliau baik di dunia maupun di akhirat nanti khususnya dalam menghadapi sakarotul maut. Karena dengan selalu dekat kepada guru rahmat Alloh akan selalu mengalir terus kepada murid yang selalu dekat kepada guru tersebut. Manaqib ini kami bagi menjadi tiga Bab dengan Penjelasan sebagai berikut: BAB I: Menceritakan tentang biografi beliau sejak di dalam rahim ibu sampai beliau menetap kembali di Surabaya untuk membuka Pesantren dan memimpin Thoriqoh QODIRIYYAH dan NAQSYABANDIYYAH. BAB II: Menjelaskan tentang keistimewaan dan keluhuran beliau disisi Alloh seperti yang diungkap¬kan oleh para Habaib dan para Auliya’ yang sudah terkenal akan kewaliannya.
BAB III: Membicarakan tentang kekeramatan beliau yang tiada habis-habisnya sampai beliau pulang ke Rahmatulloh. Demikian manaqib ringkas ini kami sampaikan mudah-madahan ada guna dan manfaatnya untuk kita semua Amin. Gresik, 20 Syawal 1404 H Penyusun H. ABDUL GHOFFAR UMAR BAB I Dibawah ini kami murid Hadrotus-Syaikh Al-Arif Billah K.H. MUHAMMAD UTSMAN AL-ISHAQI R.A. ABDUL GHOFFAR UMAR Tenger Manyar Gresik, dengan rendah hati menyampaikan sekelumit Manaqib (Biografi) Hadrotus-Syaikh guru Toriqoh AL-QODIRIYYAH WAN NAQSYABANDIYYAH.
Manaqib ini dikumpulkan dari pengakuan dan pernyataan para Habib serta para Ulama yang mengenal Hadrotus-Syaikh baik secara lahir maupun secara batin. Diantaranya pengakuan dan pernyataan dari Habib Alie bin Abdurrohman Al-Habsyi Kwitang Jakarta, Habib Ali bin Husain bin Muhammad Al-Atthos Bungur Besar Jakarta. Habib Abdul Qodir Bilfaqih, Habib Abdulloh Al-Haddad, Habib Zasssin Al-Jufri. Kyai Hamid Karang Binangun Lamongan, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Nyai Khodijah dan lain lain. Juga dari Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman r.a. Sendiri sebagai Attahaddus bin-Ni’mah atas dasar Firman Allah: واما بنعمة ربك فحدث Juga untuk menjaga jangan sampai ada orang yang mengingkari atau menentangnya atau mencelanya. Juga terhadap Masyayikh yang lain, menyebut manaqib sendiri semacam ini pernah dilakukan oleh Ulama’ terdahulu untuk memperkenalkan hal ihwal mereka kepada orang lain agar ditiru seperti Syaikh Abdul Ghofir Al-Farisi Syaikh Al Asfahany, Syaikh Yaqut Al-Hamawy, Syaikh Abu Al-Robi’ Al-¬Maliki, Syaikh Shofiyuddin Al-Manshur serta Syaikh Jala¬luddin Al-Suyuti, Imam Suyuti umpamanya telah menyebut¬kan Manaqib dirinya dalam kita-kitab Thobaqoh yaitu Thobaqoh Al-Fuqoha’ Thobaqoh Al-Muhadditsin Thobaqoh Al-¬Mufassirin Thobaqoh Al-Nuhaat, Thobaqoh Al-Sufiyah dan Thobaqah Al-Muqriin.
Kata Imam Suyuti: Saya menyebutkan manaqib saya hanyalah mengikuti perbuatan orang-orang salaf yang sholeh-sholeh, dan untuk memperkenalkan hal ihwal saya dalam bidang ilmu agar orang lain menirunya, juga untuk Attahadduts bin ni’mah. Adapun manaqib Hadrotus-Syaikh yang terperinci dan mendetail ada di dalam kitab “SYIFAUL QULUB LIQOUL MAHBUB” yang disusun oleh Kyai Haji Abdulloh Faqih suci Gresik. Dan kemudian kami susun kembali kedalam bahasa Arab secara sistematis dan praktis dalam kitab “AL-LU’LU’ WALMARJAN FI MANIQIBI SYAIKH MUHAMMAD UTSMAN R.A. Dengan membaca Bismillahirrohmanirrohim kami mulai menyampaikan manaqib (biografi) Hadrotus-Syaikh sebagai berikut: Menurut nasab yang sudah tersusun rapi di dalam keluarga, Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman adalah seorang sayyid dan seorang habib, sebab itu yang mengandung beliau adalah keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin Al-mulaqqob bi Sunan Giri bin Maulana Ishaq Al-Husaini dan ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati juga Al-husaini.
Dengan demikian hadrotus-syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi anak cucu Rosululloh saw. Hadrotus-Syaikh dilahirkan di Jatipurwo Surabaya pada hari Rabu bulan Jumadil Akhiroh tahun 1334 H. Setelah beliau bertapa selama 16 bulan di dalam rahim ibu beliau dan selama di dalam rahim ibu beliau sering bersin, di dalam bahasa Arab di sebut Al-Atthos, dan sejak kecil keistimewaan dan kekeramatan beliau sudah nampak setelah Hadrotus-Syaikh sudah bisa berjalan. Beliau selalu tidak ada dirumah setelah Maghrib, dan baru pulang setelah jam 11 malam badan beliau penuh dengan lumpur. Ternyata setelah diselidiki, beliau berada di sungai didekap oleh seekor Buaya Putih. Setiap malam Hadrotus-Syaikh selalu tidur di surau (langgar) bersama nenek beliau Kyai Abdulloh, selain nenek beliau tidak ada seorangpun yang berani mendapingi sewaktu beliau tidur, karena dari mata beliau memancarkan sinar terang seakan-akan mau menembus Iangit bagaikan lampu sorot (battery). Ketika beliau berumur 6 sampai 7 tahun, pada suatu malam nampak bulan-bulan yang banyak turun dari langit seraya memancarkan sinarnya menuju Hadrotus-Syaikh dan mengitari beliau dari segala arah.
Sejak beliau berumur 4 tahun setiap pagi pada Jam 3.00. Istiwa’ beliau keluar rumah menuju Masjid Jami’ Ampel Surabaya diantar oleh kakak perempuan beliau Nyai Khodijah untuk membaca tarhim (memanggil-manggil sholat fajar) sampai datang waktu Shubuh di menara Masjid.
Setiap kali beliau sampai dipintu gerbang Ampel beliau selalu disambut anak-anak kecil yang banyak se¬kali memakai kopyah putih semua, setelah beliau sampai di masjid anak-anak kecil tersebut hilang entah kemana. Dan baru muncul kembali sewaktu beliau hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi untuk mengantarkan beliau ke pintu gerbang.
Dan setelah itu mereka menghilang kembali, demikian cerita Nyai Khodijah dan Kyai Anwar. Ketika beliau umur 7 tahun, beliau sudah mengkhatamkan Al-Qur’an 3 kali dibawah asuhan nenek beliau Kyai Abdullah. Kemudian beliau di khitan (sunat). Barulah beliau berpindah mengaiji ke Kyai Adro’i Nyamplungan, sejak itu sepulangnya beliau dari Ampel, beliau terus menuju ke Nyamplungan untuk mengaji Al-Qur’an, setelah itu beliau menuju ke madrosah Tashwirul Afkar di Gubbah untuk mengaji agama, dan baru pulang setelah jam 10.0 pagi. Seharinya beliau hanya mendapatkan sangu 5 Sen yang berlobang tengah yang beliau tempelkan di kancing baju. Pernah selama 4 talaun Hadrotus-Syaikh tidak makan kecuali daun-daunan dan buah-buahan dan hanya minum air masak saja.
Pada waktu itu beliau tentukan belanja beliau hanya 1/2 Sen. Beliau mengatakan, pada waktu saya masih kecil pada suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan, maka sayapun makan sekenyang kenyangnya, tetapi sebagai dendanya Saya harus mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali duduk. Dan beliau mengatakan: Pada suatu hari saya menangisi diri saya karena ketika saya sholat saya ingat layang-layang, padahal saya sudah berumur 12 tahun, berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan Mukallaf, bagaimana kalau saya masih ingat pada layang-layang pada waktu sholat?! Kyai Ahmad Asrori Kholifatus Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi mengatakan kepada kami, bahwa ayah beliau pernah mengatakan: Ketika saya menginjak umur 13 tahun, mata saya melihat Ka’bah di Makkah secara rel dan nyata. Maka mata sayapun saya usap berkali-kali (saya ucek-ucek), tetapi tetap saja yang nampak hanyalah Ka’bah di Makkah. Kemudian saya berpikir, mungkin mata saya sudah rusak, dan saya minta dibelikan kaca mata khusus untuk melihat, akan tetapi hasilnya sama saja. Ka’bah di Makkah tetap nampak di pelupuk mata saya, Kata Kyai Asrori: Itulah awal kasyaf yang dialami oleh Hadrotus-Syaikh, dan sejak itu kata Hadrotus-Syaikh saya melihat orang dengan segala kepribadiannya, ada yang menyerupai Srigala ada yang seperti Truwelu, ada yang seperti Babi, seperti Ayam, Kucing dan lain sebagainya menurut pembawaan nafsunya masing-masing, tetapi saya tidak berani berkata terus terang, sebab itu adalah rahasia seseorang.
Pada suatu hari Hadrotus-Syaikh sampai larut malam tidak pulang dari Madrasah seperti biasanya pada jam 10.00 pagi, maka ributlah orang-orang tua mengkhawatir¬kan beliau. Maka imam Roudloh Kyai Nur atas izin orang tua beliau berangkat mencari beliau, dan oleh karena diberitakan bahwa Hadrotus-Syaikh berada di pondok Kyai Khozin Panji, maka Kyai Nur pun berangkat ke sana. Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan Panji, Hadrotus-Syaikh sudah Pindah ke pondok Kyai Munir Jambu Madura.
Setelah orang tua beliau mendengar demikian itu, beliau mengatakan: tidak usah mencari Utsman, yang penting dia sehat. Setelah beberapa lama tinggal di pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa beliau pulang kerumah. Dan setelah berobat Al-hamdulillah beliau sembuh kembali. Kemudian Hadrotus-Syaikh dipondokkan ke Kyai Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, selanjutnya beliau dipondokkan ke Kyai Romli Peterongan Jombang.
Pada waktu itu Hadrotus-Syaikh benar-benar terikat, beliau mengatakan: sewaktu saya dikirim oleh orang tua saya kepondok, sarung saya hanya satu lembar, apabila najis maka saya memakai tikar sebagai gantinya untuk sholat. Dan selama saya di pondok, saya tidak pernah pulang ke rumah kecuali badan saya sudah kurus benar. Sebab apabila saya pulang dan badan saya gemuk, saya di marahi oleh orang tua dan nenek. Pernah pada suatu hari saya pulang badan saya gemuk, spontan nenek saya mengatakan: Kalau kau tinggal dipondok. Untuk makan dan mimurn. Lebih baik tinggal dirumah saja. Ketika Hadrotus-Syaikh pulang dari pondok, pada suatu hari beliau menyaksikan adanya hubungan-hubungan khusus yang diselenggarakan oleh tujuh orang pemuda dan tujuh orang pemudi setiap hari disamping musholla di muka rumah beliau, maka beliau melihat hal yang tidak senonoh ini akhirnya beliau adukan kepada Kyai Romli dengan mengatakan: yai!
Saya melihat ada mutiara di dalam air yang keruh dan najis, apakah saya harus mengentasnya (menyelamatkanya)? Kyai Romli menjawab: Entaslah wahai Utsman! Dengan syarat hatimu tidak berpaling kepadanya, kalau hatimu berpaling kepadanya, maka kau tidak akan berjumpa denganku besok di Mahsyar.
Maka beliaupun mengumpulkan pemuda dan pemudi yang 14 orang itu dirumah beliau setiap malam, beliau ikuti pembicaraan-pembicaraan mereka yang intim itu sambil beliau masuk-masukkan (sesel-seselkan) urusan keagamaan mereka, dan beliau peringatkan tentang siksa Alloh ta’ala. Sampai akhirnya taubat dengan taubat nasuha (taubat yang pokok).
Hadrotus-Syaikh pernah diadukan oleh seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau mengadu ayam, Kyai Romli menjawab: Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah meniru mengadu ayam. Kawan dekat Hadrotus-Syaikh bernama Kyai Haji Hasyim Bawean menceritakan kepada kami bahwa Hadrotus-Syaikh dibai’at oleh Kyai Romli pada hari Rabu 16 Sya’ban tahun 1361 H atau 1941 M. Setelah beliau dibai’at selama satu minggu heliau menyusun silsilah Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsyabandiyyah atas perintah Kyai Romli di namakan “TSAMROTUL FIKRIYYAH”. Hadrotus-Syaikh mengatakan: saya dibai’at oleh Kyai Romli atas permintaan Kyai Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan kekamar Kyai dan didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat tidur Kyai dan dipinjami Tasbih.
Padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan, karena sudah menjadi Tradisi, setiap kali saya masuk kerumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa alas kaki. Dengan demkian, sebelum saya jadi murid saya adalah Murod dan sebelum saya menjadi tholib saya adalah Mathlub. Dalam kesempatan lain Hadrotus-Syaikh mengatakan untuk menghadiri Majlis Khusus atau Khataman selama 4 tahun saya terus menerus berjalan kaki memakai klompen dari Surabaya. Ke Paterongan, barulah kadang-kadang saya naik kendaraan setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy’ari di Mojoagung dan beliau mengatakan: jangan jalan kaki terus-menerus Utsman.
Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean mengatakan pada adik waktu terjadi Perang Dunia II tahun 1942 M Hadrotus-Syaikh sekeluarga pindah sementara ke Peterongan, kalau siang hari berada di dalam pondok. Pada suatu hari, hari Selasa beliau disuruh menghadap Kyai Romli pada jam 2.00 malam untuk diangkat menjadi mursyid Thoriqoh Al-Qodiriyah Wan Naqsyabandiyyah, Hadrotus-Syaikh waktu itu mengatakan “tidak kuat Kyai” tetapi Kyai Romli tet’ap melaksanakan perintah Alloh kemudian mengusapkan tangannya diatas kepala Kyai Utsman r.a. Seketika itu pula Hadrotus-Syaikh jatuh tidak sadarkan diri dan langsung jadzab Selama satu minggu Hadrotus-Syaikh mengalami jadzab beliau tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak buang air besar maupun kecil dan tidak sholat, wajah beliau cantik sekali bagaikan Bulan Purnama, tidak seorang pun yang berani melihat wajah beliau yang Cantik itu. Setelah Hadrotus-Syaikh mengalami jadzab satu minggu, beliau berkata kepada Kyai Hasir Bawean: nanti malam akan datang tamu-tamu banyak sekali tidak perlu suguhan makanan atau minuman, maka pada jam 8.00 kurang sepuluh menit malam Hadrotus-Syaikh sudah siap menerima tamu dikamar, dan menghadap kepintu, tidah lama kemudian beliau mengucapkan: Waalaikumussalam, Walaikumussalam. Selama kurang lebih lima menit, dan nampak seakan-akan. Hadrotus-Syaikh menjabat tangan orang-orang sambil menundukkan kepala, kemudian beliau mengatakan: Mulai hari ini saya ditetapkan sebagai mursyid langsung oleh Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani dan Nabiyulloh Khidir r.a. Serta oleh sejumlah Masyayikh Al-Qodiriyah Wan Naqsyabandiyyah, dan sejak sekarang saya di izinkan untuk membai’at.
Sambil menyerahkan sepucuk kertas kepada Kyai Hasyim. Kemudian Hadrotus-Syaikh menghadap kebarat sekali lagi dan mengucapkan na’am na’am tepat pada jam 8.00 lebih 5 menit malam itu Hadrotus-Syaikh berdiri menuju kepintu, setelah diam sejenak beliau mengucapkan wa’alaikumussalan, wa’alaiku¬mussalam, kemudian oleh Kyai Hasyim, Khadrottus Syaikh disuruh mandi setelah satu minggu tidak mandi dan ketika itulah Kyai Hasyim cepat-cepat pergi ke Kyai Romli untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi, dan Kyai Romli spontan menemuinya di luar rumah seraya mengatakan: Ada apa? Ketika Kyai Romli membaca sepucuk kertas itu spontan Kyai mengatakan dengan bahasa Madura yang maksudnya: Alhamdulillah sekarang saya punya anak yang bisa menggantikan saya (sampai 3 kali).
Orang tua Hadrotus-Syaikh juga pernah menyatakan hal-hal kepada salah seorang habib bahwa Hadrotus-Syaikh telah mendapatkan ijazah dari Syaikh Abdul Qodir Jailanil r.a, untuk berdakwah dan diangkat sebagai kholifahnya tanpa perantara, pernyataan ini disampaikan pada tahun 1947 M.